Bengkulu : Sinatung Natak
Sinatung Natak adalah sebuah cerita rakyat
yang memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Lebong Selatan, Kabupaten
Lebong, Provinsi Bengkulu. Cerita ini telah melahirkan sebuah aturan atau hukum
yang hingga kini masih berlaku di kalangan masyarakat setempat. Aturan apakah
yang dilahirkan oleh cerita ini? Dan, bagaimana aturan tersebut lahir? Temukan
jawabannya dalam cerita Sinatung Natak berikut ini!
Pada malam harinya, Sinatung Natak pun
memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya itu kepada orangtuanya dalam
sebuah pertemuan keluarga. Keenam kakaknya dan anggota keluarga lainnya kaget
mendengar perkataan Sinatung Natak.
“Apa
mungkin Putri Cerlik Cerilang akan menerima pinanganmu dengan kondisi tubuhmu
yang penuh dengan panu itu, Anakku?”
“Tidak hanya itu, Anakku! Bukankah Negeri
Serik Seri Nato itu sangat jauh dari sini?” tambah Ibunya.
“Iya, Natak menyadari akan semua hal itu.
Tapi, Natak ingin sekali menemui putri itu, Bu!” jawab Natak dengan tekad
bulat. Oleh karena tekadnya begitu besar, akhirnya Batara Guru Tuo mengizinkan
Natak pergi. Akhirnya, berangkatlah Sinatung Natak menuju ke Negeri Serik Seri
Nato untuk menemui Putri Cerlik Cerilang. Berhari-hari ia berjalan menyusuri
hutan belantara, menyeberangi sungai, naik dan turun gunung, dan melewati
banyak dusun. Ia terkadang bermalam di tengah hutan seorang diri. Kepada setiap
orang yang ditemuinya, ia selalu bertanya tentang di mana Negeri Serik Seri
Nato, namun tak seorang pun yang mau memberi tahunya.
Pada suatu hari, ketika menyusuri sebuah
hutan, Sinatung Natak bertemu dengan seorang Sebei (nenek) sedang
berjalan menggunakan tongkat sambil membawa bronang. Sebei itu
baru saja pulang dari ladangnya. Sinatung Natak pun segera menghampirinya dan
membantu sebei. Akhirnya, keduanya pun berjalan menuju ke gubuk wanita tua itu.
Natak membantu membawakan bronang sang Sebei. Natak
memberitahu tentang keinginannya untuk bertemu sang putri dan mendengar hal itu
maka Sebei menceritakan semua hal tentang Putri Cerlik
Cerilang kepada Natak.
“Ketahuilah, Natak! Putri Cerlik Cerilang
itu sudah mempunyai tunangan. Namanya Sinatung Bakas. Ia sangat kejam. Siapa
pun yang berani mendekati sang Putri pasti akan dibunuhnya,” cerita sang Sebei.
“Tapi, Bei! Natak ingin sekali
melihat sang Putri dan meminangnya,” kata Natak bersikukuh ingin menemui sang
Putri.
“Oh, jangan, Natak! Itu sangat berbahaya!
Nanti kamu akan dibunuh oleh tunangan sang Putri. Ia mempunyai puluhan orang
algojo berbadan besar,” cegah Sebei itu.
“Tenang, Bei! Natak bisa jaga
diri,” ucap Natak.
Melihat tekad kuat Sinatung Natak
tersebut, Sebei itu pun tidak mampu memberi alasan lagi untuk
menghalanginya pergi. Keesokan harinya, Sinatung Natak melanjutkan perjalanan
menuju ke Negeri Serik Seri Nato dengan menyusuri jalan sesuai petunjuk yang
diberikan oleh Sebei itu. Setelah berjalan selama sehari
semalam, sampailah Natak di sebuah negeri yang ramai. Banyak bangunan yang
berdiri megah dan bagus. Para penduduknya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Ia pun menghampiri seorang pedagang, sinatung natak menanyakan keberadaan
istana dan pefagang itu memberitahunya. Maka dengan semangat, Sinatung Natak
segera menuju ke istana itu. Ketika sampai di istana, ia melihat seorang gadis
cantik sedang duduk sendirian di sebuah bangku bundar di tengah taman. Ia yakin
gadis itu adalah Putri Cerlik Cerilang. Jantungnya pun mulai berdebar kencang.
Perlahan-lahan ia melangkah menghampiri sang gadis. Sinatung Natak pun
memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangannya. Baru beberapa saat
mereka berkenalan, keduanya pun sudah tampak akrab. Karena keasyikan
berbincang-bincang, keduanya tidak menyadari kalau ada seseorang yang sedang
memerhatikan mereka. Ternyata, orang itu adalah mata-mata Sinatung Bakas yang
sengaja ditugaskan untuk mengawasi setiap pemuda yang mendekati Putri Cerlik
Cerilang. Melihat keadaan itu, ia pun segera melapor kepada Sinatung Bakas.
Bersama beberapa orang algojo, Bakas
langsung menuju ke taman istana tempat di mana Putri Cerlik Cerilang dan
Sinatung Natak sedang asyik berbincang. Sesampainya di sana, tanpa berpikir
panjang, ia langsung menusuk tubuh Sinatung Natak dari arah belakang dengan
pedangnya. Sinatung Natak yang tidak mengetahui hal itu tidak dapat berbuat
apa-apa. Maka, ia pun tewas seketika. Melihat kejadian itu, sang Putri segera
berlari menuju ke istana untuk melapor kepada ayahandanya. Mulanya, sang Raja
hendak menceritakan kejadian itu kepada warganya. Namun karena melihat Sinatung
Bakas datang ke istana, akhirnya sang Raja pun membatalkan niatnya tersebut.
Agar rahasianya tidak terbongkar, sang Raja pun memerintahkan pengawalnya untuk
mengubur mayat Sinatung Natak di bawah bangku tempat sang Putri dan Sinatung
Natak berbincang.
Sementara itu, di rumah Sinatung Natak,
seluruh keluarganya sedang bermusyawarah untuk mengambil tindakan mengenai
kejadian yang menimpa Sinatung Natak. Mereka mengetahui kematian Sinatung Natak
karena kesaktian Batara Guru Tuo. Hasil musyawarah didapat, Batara Guru Tuo
bersama keenam saudara Sinatung Natak berangkat menuju Negeri Serik Seri Nato.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh dan melelahkan, akhirnya sampailah
mereka di negeri itu. Mereka pun langsung menghadap Baginda Raja Negeri Serik
Seri Nato.
“Ampun, Baginda Raja! Maafkan hamba jika
kedatangan hamba bersama putra-putra hamba tidak berkenan di hati Baginda!
Hamba adalah ayah Sinatung Natak. Kedatangan hamba kemari ingin mengambil putra
hamba yang telah dibunuh oleh calon menantu, Baginda,” jawab Batara Guru Tuo.
Sang Raja sangat terkejut mendengar
jawaban itu.
“Kamu jangan mengada-ada! Bagaimana kamu
tahu kalau calon menantukulah yang telah membunuh putramu?” tanya Raja
penasaran.
“Ampun, Baginda Raja! Ayah kami adalah
orang yang sakti. Ia mampu mengetahui hal-hal yang gaib, beliau mengetahui jika
Sinatung Natak dikuburkan di bawah bangku di taman istana.” sahut putra sulung
Batara Guru Tuo. Baginda Raja semakin tidak bisa mengelak. Ia pun memenuhi
permintaan tersebut. Keenam putra Batara Guru Tuo segera menggali tanah itu.
Tidak berapa lama, mereka pun menemukan jasad Sinatung Natak yang sudah
terbujur kaku. Namun, ada yang aneh pada jasad Sinatung Natak. Meskipun sudah
berminggu-minggu di dalam tanah, tubuh dan kulitnya tidak berubah. Melihat
kenyataan itu, Baginda Raja bersama beberapa pengawalnya hanya terdiam malu.
Akhirnya, mereka mengaku telah berbuat salah dan meminta maaf kepada keluarga
Batara Guru Tuo. Untuk menebus kesalahannya, Baginda Raja pun berjanji kepada
Batara Guru Tuo.
“Apapun yang kamu minta, akan aku
berikan.”
“Ampun, Baginda! Hamba tidak akan menuntut
banyak, Baginda! Hamba hanya menginginkan sejumlah uang sesuai dengan jumlah
panu yang ada pada tubuh Natak,” jawab Batara Guru Ruo.
“Baiklah, kalau begitu. Permintaanmu aku
kabulkan,” kata Baginda Raja.
Setelah dihitung, jumlah panu yang ada di
tubuh Sinatung Natak berjumlah delapan puluh buah panu. Satu panu diganti
dengan uang satu rial. Namun, pada saat perhitungan panu dilakukan terjadi
suatu peristiwa gaib. Setiap panu yang sudah dihitung tiba-tiba hilang satu per
satu dari tubuh Natak tanpa meninggalkan bekas sama sekali. Dan, ajaibnya lagi,
ketika sampai pada hitungan kedelepan puluh, dengan izin Tuhan Yang Mahakuasa,
tiba-tiba Sinatung Natak hidup kembali. Raja sangat terkejut menyaksikan
peristiwa itu. Begitu pula Sinatung Natak, ia terkejut saat melihat panu yang
memenuhi tubuhnya hilang semua.
Demikian
cerita Sinatung Natak dari daerah Bengkulu, Indonesia.
Hingga kini, oleh masyarakat setempat cerita di atas dijadikan sebagai pedoman
dalam menetapkan aturan pada kasus pembunuhan. Hutang nyawa tidak harus diganti
dengan nyawa, akan tetapi tergantung kepada permintaan keluarga korban
pembunuhan.
Comments
Post a Comment