Bengkulu : Sinatung Natak

Sinatung Natak adalah sebuah cerita rakyat yang memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Lebong Selatan, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Cerita ini telah melahirkan sebuah aturan atau hukum yang hingga kini masih berlaku di kalangan masyarakat setempat. Aturan apakah yang dilahirkan oleh cerita ini? Dan, bagaimana aturan tersebut lahir? Temukan jawabannya dalam cerita Sinatung Natak berikut ini!
Suatu daerah di Bengkulu, ada seorang raja yang bernama Serik Seri Nato. Ia mempunyai putri yang cantik jelita bernama Cerlik Cerilang. Berita tentang kecantikan sang Putri telah tersebar sampai ke berbagai negeri. Banyak pemuda yang ingin menikahinya. Berita tentang kecantikan Putri Cerlik Cerilang juga sampai di dusun Kutei Donok (sekarang bernama Desa Kota Donok, Kecamatan Lebong Selatan). Di dusun ini, ada seorang Batara Guru bernama Guru Tuo yang memiliki tujuh orang putra. Putra bungsunya bernama Sinatung Natak yang punya penyakit panu di sekujur tubuhnya. Meski demikian, ia sangat dimanja oleh orangtuanya karena sifatnya yang suka menolong terhadap sesama. Seperti pemuda lainnya, Sinatung Natak pun menyukai sang Putri.
Pada malam harinya, Sinatung Natak pun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya itu kepada orangtuanya dalam sebuah pertemuan keluarga. Keenam kakaknya dan anggota keluarga lainnya kaget mendengar perkataan Sinatung Natak.
 “Apa mungkin Putri Cerlik Cerilang akan menerima pinanganmu dengan kondisi tubuhmu yang penuh dengan panu itu, Anakku?”
“Tidak hanya itu, Anakku! Bukankah Negeri Serik Seri Nato itu sangat jauh dari sini?” tambah Ibunya.
“Iya, Natak menyadari akan semua hal itu. Tapi, Natak ingin sekali menemui putri itu, Bu!” jawab Natak dengan tekad bulat. Oleh karena tekadnya begitu besar, akhirnya Batara Guru Tuo mengizinkan Natak pergi. Akhirnya, berangkatlah Sinatung Natak menuju ke Negeri Serik Seri Nato untuk menemui Putri Cerlik Cerilang. Berhari-hari ia berjalan menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai, naik dan turun gunung, dan melewati banyak dusun. Ia terkadang bermalam di tengah hutan seorang diri. Kepada setiap orang yang ditemuinya, ia selalu bertanya tentang di mana Negeri Serik Seri Nato, namun tak seorang pun yang mau memberi tahunya.
Pada suatu hari, ketika menyusuri sebuah hutan, Sinatung Natak bertemu dengan seorang Sebei (nenek) sedang berjalan menggunakan tongkat sambil membawa bronang. Sebei itu baru saja pulang dari ladangnya. Sinatung Natak pun segera menghampirinya dan membantu sebei. Akhirnya, keduanya pun berjalan menuju ke gubuk wanita tua itu. Natak membantu membawakan bronang sang Sebei. Natak memberitahu tentang keinginannya untuk bertemu sang putri dan mendengar hal itu maka Sebei  menceritakan semua hal tentang Putri Cerlik Cerilang kepada Natak.
“Ketahuilah, Natak! Putri Cerlik Cerilang itu sudah mempunyai tunangan. Namanya Sinatung Bakas. Ia sangat kejam. Siapa pun yang berani mendekati sang Putri pasti akan dibunuhnya,” cerita sang Sebei.
“Tapi, Bei! Natak ingin sekali melihat sang Putri dan meminangnya,” kata Natak bersikukuh ingin menemui sang Putri.
“Oh, jangan, Natak! Itu sangat berbahaya! Nanti kamu akan dibunuh oleh tunangan sang Putri. Ia mempunyai puluhan orang algojo berbadan besar,” cegah Sebei itu.
“Tenang, Bei! Natak bisa jaga diri,” ucap Natak.
Melihat tekad kuat Sinatung Natak tersebut, Sebei itu pun tidak mampu memberi alasan lagi untuk menghalanginya pergi. Keesokan harinya, Sinatung Natak melanjutkan perjalanan menuju ke Negeri Serik Seri Nato dengan menyusuri jalan sesuai petunjuk yang diberikan oleh Sebei itu. Setelah berjalan selama sehari semalam, sampailah Natak di sebuah negeri yang ramai. Banyak bangunan yang berdiri megah dan bagus. Para penduduknya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ia pun menghampiri seorang pedagang, sinatung natak menanyakan keberadaan istana dan pefagang itu memberitahunya. Maka dengan semangat, Sinatung Natak segera menuju ke istana itu. Ketika sampai di istana, ia melihat seorang gadis cantik sedang duduk sendirian di sebuah bangku bundar di tengah taman. Ia yakin gadis itu adalah Putri Cerlik Cerilang. Jantungnya pun mulai berdebar kencang. Perlahan-lahan ia melangkah menghampiri sang gadis. Sinatung Natak pun memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangannya. Baru beberapa saat mereka berkenalan, keduanya pun sudah tampak akrab. Karena keasyikan berbincang-bincang, keduanya tidak menyadari kalau ada seseorang yang sedang memerhatikan mereka. Ternyata, orang itu adalah mata-mata Sinatung Bakas yang sengaja ditugaskan untuk mengawasi setiap pemuda yang mendekati Putri Cerlik Cerilang. Melihat keadaan itu, ia pun segera melapor kepada Sinatung Bakas.
Bersama beberapa orang algojo, Bakas langsung menuju ke taman istana tempat di mana Putri Cerlik Cerilang dan Sinatung Natak sedang asyik berbincang. Sesampainya di sana, tanpa berpikir panjang, ia langsung menusuk tubuh Sinatung Natak dari arah belakang dengan pedangnya. Sinatung Natak yang tidak mengetahui hal itu tidak dapat berbuat apa-apa. Maka, ia pun tewas seketika. Melihat kejadian itu, sang Putri segera berlari menuju ke istana untuk melapor kepada ayahandanya. Mulanya, sang Raja hendak menceritakan kejadian itu kepada warganya. Namun karena melihat Sinatung Bakas datang ke istana, akhirnya sang Raja pun membatalkan niatnya tersebut. Agar rahasianya tidak terbongkar, sang Raja pun memerintahkan pengawalnya untuk mengubur mayat Sinatung Natak di bawah bangku tempat sang Putri dan Sinatung Natak berbincang.
Sementara itu, di rumah Sinatung Natak, seluruh keluarganya sedang bermusyawarah untuk mengambil tindakan mengenai kejadian yang menimpa Sinatung Natak. Mereka mengetahui kematian Sinatung Natak karena kesaktian Batara Guru Tuo. Hasil musyawarah didapat, Batara Guru Tuo bersama keenam saudara Sinatung Natak berangkat menuju Negeri Serik Seri Nato. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh dan melelahkan, akhirnya sampailah mereka di negeri itu. Mereka pun langsung menghadap Baginda Raja Negeri Serik Seri Nato.
“Ampun, Baginda Raja! Maafkan hamba jika kedatangan hamba bersama putra-putra hamba tidak berkenan di hati Baginda! Hamba adalah ayah Sinatung Natak. Kedatangan hamba kemari ingin mengambil putra hamba yang telah dibunuh oleh calon menantu, Baginda,” jawab Batara Guru Tuo.
Sang Raja sangat terkejut mendengar jawaban itu.
“Kamu jangan mengada-ada! Bagaimana kamu tahu kalau calon menantukulah yang telah membunuh putramu?” tanya Raja penasaran.
“Ampun, Baginda Raja! Ayah kami adalah orang yang sakti. Ia mampu mengetahui hal-hal yang gaib, beliau mengetahui jika Sinatung Natak dikuburkan di bawah bangku di taman istana.” sahut putra sulung Batara Guru Tuo. Baginda Raja semakin tidak bisa mengelak. Ia pun memenuhi permintaan tersebut. Keenam putra Batara Guru Tuo segera menggali tanah itu. Tidak berapa lama, mereka pun menemukan jasad Sinatung Natak yang sudah terbujur kaku. Namun, ada yang aneh pada jasad Sinatung Natak. Meskipun sudah berminggu-minggu di dalam tanah, tubuh dan kulitnya tidak berubah. Melihat kenyataan itu, Baginda Raja bersama beberapa pengawalnya hanya terdiam malu. Akhirnya, mereka mengaku telah berbuat salah dan meminta maaf kepada keluarga Batara Guru Tuo. Untuk menebus kesalahannya, Baginda Raja pun berjanji kepada Batara Guru Tuo.
“Apapun yang kamu minta, akan aku berikan.”
“Ampun, Baginda! Hamba tidak akan menuntut banyak, Baginda! Hamba hanya menginginkan sejumlah uang sesuai dengan jumlah panu yang ada pada tubuh Natak,” jawab Batara Guru Ruo.
“Baiklah, kalau begitu. Permintaanmu aku kabulkan,” kata Baginda Raja.
Setelah dihitung, jumlah panu yang ada di tubuh Sinatung Natak berjumlah delapan puluh buah panu. Satu panu diganti dengan uang satu rial. Namun, pada saat perhitungan panu dilakukan terjadi suatu peristiwa gaib. Setiap panu yang sudah dihitung tiba-tiba hilang satu per satu dari tubuh Natak tanpa meninggalkan bekas sama sekali. Dan, ajaibnya lagi, ketika sampai pada hitungan kedelepan puluh, dengan izin Tuhan Yang Mahakuasa, tiba-tiba Sinatung Natak hidup kembali. Raja sangat terkejut menyaksikan peristiwa itu. Begitu pula Sinatung Natak, ia terkejut saat melihat panu yang memenuhi tubuhnya hilang semua.
Demikian cerita Sinatung Natak dari daerah Bengkulu, Indonesia. Hingga kini, oleh masyarakat setempat cerita di atas dijadikan sebagai pedoman dalam menetapkan aturan pada kasus pembunuhan. Hutang nyawa tidak harus diganti dengan nyawa, akan tetapi tergantung kepada permintaan keluarga korban pembunuhan.

Comments

Popular Posts