cerita rakyat Jakarta: Si Jampang
Si Jampang adalah
pendekar dari Betawi yang
dikenal sebagai “Robin
Hood”dari Betawi. Ia kerap merampok harta milik tuan-tuan tanah maupun
orang kaya yang tamak di daerah Grogol, Depok. Lalu, hasil
rampokannya dibagi-bagikan kepada rakyat miskin. Bagi mereka si Jampang adalah
seorang pahlawan namun bagi tuan tanah dan orang kaya, si
Jampang adalah
musuh yang menakutkan. Berikut kisahnya dalam cerita Si
Jampang, Robin Hood dari Betawi.
Betawi memiliki pendekar legendaris yang dijuluki “Robin Hood”
Betawi. Ia adalah si Jampang yang terkenal tampan dan sakti. Nama si Jampang
diambil dari nama daerah asal ibunya yaitu daerah Jampang di Sukabumi, Jawa
Barat. Ayahnya berasal dari Banten. Si Jampang dan istrinya tinggal di Grogol,
Depok. Mereka dikaruniai anak laki-laki yang dipanggil si Jampang Muda. Namun,
kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama, istri si Jampang meninggal dunia
karena sakit. Sejak itu, si Jampang merawat anak semata wayangnya seorang diri.
Karena ingin melihat anaknya menjadi anak saleh dan berguna bagi masyarakat, ia
pun menitipkannya ke pondok pesantren. Si Jampang merasa kesepian. Dari situ,
ia berkeinginan untuk membantu rakyat Betawi yang menderita akibat tekanan para
tuan tanah dan para orang kaya yang kikir.
Si Jampang pun mulai merampok harta benda para tuan tanah dan
orang-orang kaya di daerah Grogol. Para tuan tanah dan orang kaya menjadi
murka. Namun, rakyat justru senang karena hasil rampokan dibagikan juga ke
mereka. Si jampang pun menjadi terkenal sebagai perampok. Hingga kepopulerannya
sampai ke telinga para kyai dan santri di pondok pesantren, si Jampang Muda pun
malu karena ayahnya seorang perampok.
Suatu ketika, anak si Jampang pulang ke rumah dengan membawa semua
pakaiannya.
“Hai, Tong! Kenapa
pakaianmu kamu bawa pulang semua?”
“Aye tidak
mau mengaji lagi, Be.Aye malu.
Bukannya Babe keturunan
Banten? Biasanya orang-orang Banten itu alim. Tapi, Babe kok
malah merampok? Semua orang di pesantren ngomongin Babe. Aye kan
malu.”
“Hei, Tong.
Kamu tidak perlu menasehati Babe seperti
itu. Katakan
saja apa maumu”
Anak si Jampang hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Pokoknya, aye kagak
mau mengaji lagi”
“Payah, kamu Tong. Tadi memberi nasihat
seperti kyai, tapi sekarang malah tidak mau mengaji lagi. Kamu mau jadi apa?
Mau jadi perampok seperti ayah?”
Anak itu kembali menggeleng-gelengkan kepala. Ia benar-benar
kecewa dengan perilaku ayahnya.
“Jadi, maumu apa, Tong? Mau menikah?”
“Tidak, Be.
Babe saja
yang menikah biar tidak kesepian lagi”
Mendengar perkataan anaknya, si Jampang tertawa terbahak-bahak.
“Oh, kamu mau ibu lagi?Baiklah, Babe akan
mencarikanmu ibu yang baru.”
Sang anak hanya terdiam. Sementara itu, si Jampang langsung
teringat pada seorang janda bernama Mayangsari yang mempunyai seorang anak
bernama Abdih. Janda itu adalah mantan istri Sarba, sahabatnya sejak kecil
ketika mereka masih tinggal di Banten.
Suatu hari, si Jampang mngunjungi rumah Mayangsari. Ciput, sang pembantu
ketakutan melihat kedatangan si Jampang yang terkenal sebagai perampok. Dengan
gugup Cupit mempersilahkan Si Jampang duduk dan memanggil tuan rumah.
Mayangsari keluar menemui si Jampang, ia bercerita mengenai kematian suaminya.
“Dulu, kami ziarah ke makam di Gunung Kepuh Batu. Di sana, Bang
Sarba bernazar akan menyumbang sepasang kerbau ke makam itu jika dikaruniai
anak. Namun, setelah kami mempunyai anak laki-laki bernama Abdih, Bang Sarba
lupa pada nazarnya. Kata orang, hal itulah penyebab kematian Bang Sarba. Aye
bingung karena Abdih sekolah di Bandung dan butuh banyak biaya. Padahal, aye sendiri
ibu rumah tangga. Untung Bang Sarba meninggalkan sedikit warisan yang bisa
membantu biaya sekolah Abdih,” lanjutnya.
“Kamu tidak usah bingung memikirkan Abdih. Nanti aye yang
mengurusnya”
Mayangsari bingung.
“Begini, Mayang. Kamu kan janda,
sedangkan aye seorang
duda. Akan lebih baik jika kita menikah saja”
Mendengar itu, Mayangsari tersinggung karena ia tahu benar sifat
dan perilaku si Jampang. Ia tidak sudi menikah dengan seorang perampok.
“Hai, Jampang. Jika mau menikah, menikahlah dengan orang lain!Aye
lebih baik tetap menjanda daripada menikah dengan perampok.”
Mendengar perkataan itu, si Jampang sangat malu sekali. Ia pun
cepat-cepat pergi dari rumah itu. Namun dalam hatinya ia tetap bertekad ingin menikahi
mayangsari. Saat itu pula, ia langsung ke rumah Sarpin, keponakannya yang
sering diajak merampok.
Si Jampang menceritakan yang baru saja dialaminya di rumah
Mayangsari.
“Aye harus menikahinya, Pin. Untuk itu, aye perlu
dukun untuk meluluhkan hatinya”
“Oh, aye tahu
dukun yang ampuh, Mang. Namanya Pak Dul dari Kampung Gabus”
Hari itu juga, si Jampang ditemani Sarpin pergi ke Kampung Gabus.
Setiba di rumah Pak Dul, ia pun menyampaikan maksudnya. Dukun itu memberikan
ilmu guna-guna kepada si Jampang.
Akhirnya Mayangsari menjadi gila terkena guna-guna. Ia sering
tertawa sering dan memanggil-manggil nama si Jampang. Abdih yang baru pulang
dari Bandung heran melihat perilaku ibunya. Abdih sedih melihat kondisi ibunya.
Ia segera mencari keterangan mengenai dukun yang dapat menyembuhkan ibunya.
Akhirnya, Abdih pun menemukan Pak Dul dari Kampung Gabus. Tanpa berpikir
panjang, ia segera ke rumah dukun itu untuk meminta bantuan. Sang Dukun pun
menyanggupi permintaan Abdih. Karena dia sendiri yang membuat guna-guna itu,
maka ia pun dapat mencabutnya dengan mudah. Seketika itu juga, Mayangsari
sembuh dan tidak ingat lagi kepada si Jampang. Keesokan harinya, Abdih menemui
si Jampang, ia bicara baik-baik kepada si Jampang agar tidak lagi mengganggu
ibunya.
“Apa katamu? Aku tidak boleh menikahi ibu? Bisa tidak bisa, aku
harus menikah dengan ibumu!”
Abdih ketakutan melihat sikap si Jampang. Ia pun mencari akal agar
si Jampang tidak jadi menikah dengan ibunya.
“Bukannya tidak boleh, Mang. Tapi, ada syaratnya. Mang
Jampang harus menyerahkan sepasang kerbau sebagai mas kawinnya”
“Baiklah, Abdih. Kembalilah
ke rumahmu! Syaratmu akan segera kupenuhi”
Abdi pun kembali dengan perasaan cemas. Jika memang benar si
Jampang dapat memenuhi syarat itu, maka dirinya pun akan memiliki bapak tiri
seorang perampok. Sementara itu, si Jampang kebingungan untuk memperoleh
kerbau. Harga kerbau sangat mahal, ia teringat pada Haji Saud, seorang kaya
raya yang tinggal di daerah Tambuh. Sepasang kerbau bagi Haji Saud bukanlah
berarti apa-apa.
Suatu malam, si Jampang bersama Sarpin menuju ke rumah Haji Saud
dengan memakai topeng dan membawa golok. Keduanya berhasil mencuri sepasang
kerbau milik Haji Saud dengan mudah. Namun, ketika mereka akan keluar pintu
desa, puluhan anggota polisi telah mengepung. Para anggota polisi tersebut
menodongkan senapan laras panjang. Si Jampang dan Sarpin pun tidak bisa berbuat
apa-apa. Mereka akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dan si Jampang sebagai
gembong perampok dihukum mati.
Mendengar kabar
tersebut, para tuan tanah dan orang-orang kaya merasa gembira. Sebaliknya,
rakyat bersedih. Bagi mereka, si Jampang bukan sekedar perampok, tapi ia
merupakan pahlawan.
Comments
Post a Comment